Di jagat media sosial yang dinamis, lahir kembali istilah-istilah gaul yang dengan cepat menjadi viral. Dua di antaranya yang kini ramai dibicarakan adalah ‘Rojali’ dan ‘Rohana’. Meski terdengar seperti nama orang, keduanya merupakan akronim jenaka untuk melabeli sebuah fenomena sosial yang jamak ditemui di pusat perbelanjaan atau mal.
Jauh dari sekadar candaan, kemunculan istilah ini sebenarnya membuka diskusi yang lebih dalam tentang pergeseran fungsi mal dan perilaku konsumen di era modern. Lantas, apa sebenarnya arti di balik dua istilah ini dan fenomena apa yang direfleksikannya?
Mengupas Tuntas Akronim ‘Rojali’ dan ‘Rohana’
Secara definisi, dua istilah ini merujuk pada perilaku spesifik pengunjung mal:
- Rojali: Adalah singkatan dari “Rombongan Jajan, Beli Kagak”. Istilah ini ditujukan bagi sekelompok orang, seringkali anak muda, yang datang ke mal dengan tujuan utama untuk nongkrong dan kulineran di area food court. Mereka rela mengeluarkan uang untuk makanan dan minuman, namun tidak memiliki niat untuk berbelanja di toko-toko ritel seperti fesyen atau elektronik.
- Rohana: Merupakan pasangan dari Rojali, singkatan dari “Rombongan Hanya Nanya-Nanya”. Label ini disematkan pada kelompok yang aktif keluar-masuk toko, bertanya banyak hal kepada staf penjualan, mencoba produk, namun pada akhirnya pergi tanpa melakukan transaksi pembelian. Mereka adalah evolusi dari window shopper di era komunal.
Mal sebagai Ruang Sosial, Bukan Lagi Sekadar Pusat Ritel
Fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ secara tajam menyoroti evolusi fungsi mal di tengah masyarakat urban Indonesia. Mal tidak lagi murni menjadi pusat transaksi jual-beli, melainkan telah bertransformasi menjadi sebuah “ruang ketiga”—lokasi netral setelah rumah dan tempat kerja (atau sekolah) untuk bersosialisasi.
Bagi banyak kalangan, terutama generasi muda, mal menawarkan ruang publik yang aman, nyaman, sejuk, dan kaya akan pilihan hiburan. Aktivitas utama mereka adalah bertemu teman, mengobrol, dan eksis di media sosial. Dalam konteks ini, gerai makanan dan minuman menjadi elemen pendukung utama, sementara toko ritel hanya menjadi latar atau ‘etalase’ yang dilewati.
Dampak Dua Sisi bagi Ekosistem Bisnis
Tren ini ibarat pedang bermata dua bagi para pengelola dan penyewa di dalam mal. Di satu sisi, ini adalah angin segar bagi para pebisnis di sektor F&B (Food and Beverage). Restoran, kafe, hingga gerai minuman kekinian meraup keuntungan dari ramainya pengunjung yang datang untuk jajan.
Namun di sisi lain, ini menjadi tantangan serius bagi para peritel. Tingginya jumlah pengunjung (foot traffic) tidak lagi menjadi jaminan tingginya angka penjualan. Para pemilik toko harus memutar otak lebih keras untuk mengubah keramaian ‘Rohana’ menjadi transaksi nyata, misalnya dengan menciptakan pengalaman berbelanja yang unik atau promosi yang sangat menarik.
Candaan, Stigma, dan Realitas Ekonomi
Meski seringkali dilontarkan sebagai lelucon, istilah ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ tak bisa dipungkiri membawa sedikit stigma sosial. Ia secara halus menyentil kemampuan belanja seseorang dan menjadi cerminan dari realitas ekonomi, di mana tidak semua orang yang datang ke mal memiliki daya beli yang sama.
Pada akhirnya, ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ adalah potret jujur dari kultur masyarakat urban saat ini. Sebuah fenomena yang menunjukkan bahwa pengalaman dan interaksi sosial kini bisa jadi lebih berharga daripada sekadar kepemilikan barang.