Tangerangnews.id – Sebuah polemik baru di industri perhotelan mencuat ke permukaan setelah sejumlah hotel syariah di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), menerima surat tagihan royalti musik. Kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi hak cipta para musisi ini menimbulkan kebingungan dan keresahan, lantaran tagihan tetap dilayangkan meskipun hotel hanya memutar lantunan ayat suci Al-Qur’an (murotal) dan musik religi.
Para pengusaha hotel yang tergabung dalam Asosiasi Hotel Mataram (AHM) mengaku terkejut dengan datangnya surat tagihan tersebut, bahkan beberapa di antaranya telah menerima somasi karena dianggap tidak patuh. Padahal, hotel-hotel berkonsep syariah secara tegas tidak memutarkan musik komersial di area publik maupun di dalam kamar.
“Kami dari AHM memang betul sudah disurati berupa tagihan, bahkan ada teman kami juga sudah disomasi,” ungkap Rega Fajar Firdaus, Sekretaris Bendahara AHM sekaligus General Manager Hotel Grand Madani. “Alasannya mungkin karena tidak mau membayar, walaupun sebagian hotel ada yang sudah sanggup membayar.”
Menurut Rega, penagih royalti berargumen bahwa setiap televisi di kamar hotel memiliki potensi untuk mengeluarkan suara atau musik yang memiliki hak cipta. Logika ini dianggap tidak masuk akal oleh para pengusaha, karena hotel yang tidak menyediakan fasilitas televisi pun tetap menjadi sasaran tagihan.
“Dia (penagih) menganggap setiap kamar ada TV dan TV itu bisa mengeluarkan musik yang mengandung hak cipta. Ada hotel yang tidak ada TV, tetapi tetap dikirimi tagihan,” tegas Rega.
Kasus ini menyoroti interpretasi luas terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sebagai badan yang ditunjuk untuk mengelola royalti, dinilai menerapkan aturan secara kaku tanpa membedakan jenis suara yang digunakan untuk kepentingan komersial.
Kekhawatiran para pelaku usaha semakin menjadi setelah muncul kasus viral di mana suara burung dari platform YouTube pun dikenakan royalti. “Jadi dia melihat objek suara, tidak peduli siapa penyanyinya,” tambah Rega.
Situasi ini membuat para pengusaha hotel merasa diintimidasi dan diposisikan layaknya pelanggar hukum. Ancaman sanksi pidana yang membayangi membuat iklim usaha menjadi tidak nyaman. “Kita pengusaha seperti dianggap residivis saja, padahal ini soal interpretasi aturan. Banyak pengusaha ketar-ketir,” pungkasnya.
Para pelaku industri perhotelan di Mataram berharap adanya dialog dan peninjauan kembali atas implementasi kebijakan ini, agar lebih adil dan tidak memberatkan usaha yang memiliki konsep spesifik seperti hotel syariah yang jelas-jelas tidak memanfaatkan musik komersial untuk keuntungan bisnisnya.