Asap gas air mata yang membumbung di depan kompleks parlemen hari ini, 25 Agustus 2025, bukan sekadar reaksi atas kebijakan. Ia adalah simbol dari amarah publik yang telah lama terpendam, puncak dari kekecewaan terhadap sebuah lembaga yang seharusnya mewakili suara rakyat, namun kini lebih sering terdengar sebagai gemerincing fasilitas dan privilese untuk diri sendiri.
Kerusuhan dalam “Demo 25 Agustus” yang menolak kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah cermin retak dari demokrasi kita, sebuah jurang menganga antara wakil dan yang diwakili.
Kebijakan tunjangan DPR pada tahun 2025 telah menjadi diskursus yang melampaui angka-angka dalam slip gaji. Ia telah menjelma menjadi soal moral, etika, dan rasa keadilan yang paling mendasar.
Di tengah himpitan ekonomi yang kian berat, kenaikan dan penambahan fasilitas bagi 580 anggota dewan adalah sebuah ironi yang menyakitkan, sebuah pertunjukan arogansi kekuasaan yang tak lagi bisa ditolerir oleh nalar publik.
Kesenjangan Ekonomi: Kemewahan di Senayan, Kesulitan di Seluruh Negeri
Mari kita bedah kontras yang paling telanjang. Saat artikel ini ditulis, seorang anggota DPR periode 2024-2029 dapat membawa pulang pendapatan bulanan yang melampaui Rp100 juta, sebuah agregat dari gaji pokok dan belasan jenis tunjangan mulai dari Tunjangan Komunikasi Intensif, Tunjangan Peningkatan Fungsi Pengawasan dan Anggaran, hingga Bantuan Langganan Daya dan Jasa.
Sekarang, mari kita bandingkan angka fantastis itu dengan realitas di luar tembok Senayan:
1. Tingkat Kemiskinan
Laporan Bank Dunia per Juni 2025 menunjukkan bahwa berdasarkan garis kemiskinan global yang telah diperbarui (PPP 2021), sebanyak 68,3% populasi Indonesia setara dengan 194,7 juta orang hidup dengan pendapatan di bawah 6,85 dolar AS per hari, Angka ini secara signifikan lebih tinggi dibandingkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu 8,47%, karena adanya perbedaan mendasar dalam metodologi dan tujuan pengukuran, di mana BPS menggunakan standar PPP 2017 dan metode kebutuhan dasar yang sesuai dengan konteks nasional.
2. Harga Kebutuhan Pokok
Harga beras, minyak goreng, dan cabai terus meroket sepanjang tahun ini, memaksa jutaan keluarga untuk mengurangi porsi makan dan mengencangkan ikat pinggang hingga batas terakhir.
3. Akses Perumahan Layak
Angka backlog kepemilikan rumah masih Jauh dari kata cukup. Generasi muda dan keluarga baru harus berjuang puluhan tahun untuk bisa membayar uang muka (DP) rumah sederhana, sementara gaji dan tunjangan seorang anggota dewan dalam sebulan sudah cukup untuk membeli properti secara tunai.
4. Ancaman PHK dan Pekerja Kontrak
Jutaan pekerja hidup dalam kecemasan di bawah bayang-bayang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan status sebagai pekerja kontrak tanpa jaminan masa depan. Hal ini sangat kontras dengan jaminan posisi, gaji, dan pensiun yang dinikmati oleh anggota dewan selama lima tahun penuh.
Di sinilah letak absurdnya. Lembaga yang bertanggung jawab membuat regulasi untuk mensejahterakan rakyatnya, justru sibuk mengalokasikan anggaran negara untuk kemewahan pribadi, seolah mereka hidup di dimensi ekonomi yang berbeda.
Produktivitas vs. Privilese: Bayaran Selangit untuk Kinerja Seadanya
Kritik ini akan selalu dianggap populis jika tidak diimbangi dengan data kinerja. Sayangnya, data tersebut justru semakin memperkuat argumen publik. Dalam lima tahun terakhir (2020-2025), tunjangan dan fasilitas DPR secara konsisten mengalami kenaikan, namun tidak pernah diiringi dengan peningkatan produktivitas legislasi yang signifikan RUU Perampasan aset ? hilang ditelan bumi.
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) seringkali hanya menjadi daftar keinginan yang jauh dari target. Pada tahun 2024 saja, dari 50 RUU prioritas, kurang dari separuhnya yang berhasil disahkan menjadi Undang-Undang. Kualitas UU yang dihasilkan pun kerap menjadi sorotan karena dianggap cacat formil, terburu-buru, dan lebih mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu ketimbang kepentingan publik contohnya seperti revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang terus menuai kontroversi.
Jika dibandingkan dengan parlemen negara lain di Asia Tenggara, disproporsi ini semakin terlihat. Gaji dan tunjangan anggota parlemen Malaysia atau Thailand mungkin kompetitif, namun mereka seringkali diimbangi dengan ekspektasi kinerja dan pengawasan publik yang lebih ketat. Di Indonesia, DPR menikmati fasilitas setara negara maju dengan hasil kerja yang belum beranjak dari kualitas negara berkembang.
Transparansi dan Akuntabilitas: Kotak Hitam Anggaran Wakil Rakyat
Persoalan paling fundamental adalah mekanisme penetapan tunjangan itu sendiri. Prosesnya cenderung tertutup, diputuskan secara internal, dan disetujui melalui mekanisme Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama pemerintah. Publik tidak pernah diajak bicara atau bahkan diberi penjelasan yang memadai mengenai urgensi kenaikan setiap komponen tunjangan.
Untuk apa sebenarnya Tunjangan Komunikasi Intensif sebesar puluhan juta rupiah di era media sosial yang serba gratis? Bagaimana pertanggungjawaban dana reses yang seringkali dilaporkan tanpa bukti konkret penyerapan aspirasi? Pertanyaan-pertanyaan ini lenyap dalam labirin birokrasi tanpa pernah ada audit yang transparan dan akuntabel kepada publik sebagai pembayar pajak. Ini adalah praktik self-serving yang melegalkan konflik kepentingan dalam bentuk paling sempurna.
Kerusuhan dalam aksi demonstrasi hari ini adalah akumulasi dari semua masalah tersebut. Ia adalah pesan yang sangat jelas: rakyat tidak lagi hanya menuntut pembatalan kenaikan tunjangan. Rakyat menuntut sebuah reformasi fundamental dalam cara pandang DPR terhadap posisinya. Menjadi wakil rakyat bukanlah sebuah privilese untuk memperkaya diri, melainkan sebuah amanah untuk melayani.
Tanpa perubahan moral dan struktural, gedung parlemen hanya akan menjadi istana kaca yang megah indah dari luar, namun kosong dari substansi dan empati, serta terisolasi dari derita nyata rakyat yang diwakilinya.