Sebuah negara dibangun di atas Pondasi kepercayaan. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, pondasi itu seakan digerogoti oleh tiga bor yang bekerja serentak dari tiga arah berbeda dari kementerian agama kepengurusan menteri sebelumnya, dari aparat di jalanan, hingga dari para wakil rakyat di gedung parlemen. Ini bukan sekadar insiden terpisah, melainkan simpul-simpul dari satu benang kusut yang sama yaitu krisis kepercayaan akut antara negara dan rakyatnya.
Luka Pertama : Korupsi kuota haji
Kabar dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menusuk kalbu. Di tengah antrean suci yang mengular hingga belasan tahun, terungkap dugaan korupsi kuota haji yang memilukan. Laporan Tempo.co menguliti fakta pahit yaitu 8.400 calon jemaah yang telah menabung dan menunggu dengan sabar selama 14 tahun terpaksa menelan kekecewaan karena impian mereka ke Tanah Suci direnggut oleh praktik lancung.
Ini bukan sekadar korupsi biasa yang merugikan keuangan negara. Korupsi kuota haji ini merampas hak masyarakat, mengubah ibadah menjadi komoditas dagang bagi segelintir oknum. Ketika institusi yang seharusnya menjaga kemurnian niat ibadah justru menjadi sarang korupsi, pertanyaan fundamental pun muncul kepada siapa lagi rakyat harus menaruh percaya? Ini adalah luka paling dalam karena menggerogoti keyakinan pada pilar moral yang selama ini menjadi pegangan.
Luka Kedua : Demontrasi yang menimbulkan korban jiwa ojol
Dari korupsi kuota haji, kita beralih ke jalanan yang “panas”. Demonstrasi yang menuntut keadilan justru menimbulkan korban jiwa, menurut laporan BBC Indonesia, tujuh anggota Brimob terbukti langgar etik sehingga menimbulkan korban jiwa yaitu driver ojol yang bernama Affan Kurniawan akibat dilindas kendaraan rantis Brimob
Insiden ini membuat semakin retaknya hubungan antara aparat sebagai pelayan publik dengan masyarakat yang seharusnya mereka lindungi.
Luka Ketiga : Suara Lantang untuk Parlemen yang Tuli
Puncak dari krisis kepercayaan ini termanifestasi secara digital dengan data yang sangat telak. Riset yang dipublikasikan oleh Kompas.id menunjukkan angka yang mengerikan: sentimen negatif warganet terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencapai 88 persen. Angka ini bukan sekadar kebisingan di media sosial ini adalah mosi tidak percaya massal dari konstituen terhadap para wakilnya.
Warganet, yang merupakan representasi dari masyarakat umum dan akademisi yang melek digital, melihat DPR sebagai institusi yang jauh dari aspirasi mereka. Produk legislasi yang kontroversial, gaya hidup yang dianggap tidak peka, dan kinerja yang dinilai minim adalah bahan bakar utama dari sentimen negatif ini. Ketika lembaga yang seharusnya menjadi “telinga” dan “mulut” rakyat justru dianggap tuli dan berbicara untuk kepentingan lain, maka pilar demokrasi perwakilan itu sendiri sedang berada di ambang kerapuhan.
Wajib Berbenah dan Menjaga Kewarasan Baik Masyarakat Maupun Pemerintah
Tiga luka yang bernanah ini korupsi kuota haji, arogansi aparat, dan defisit kepercayaan legislatif adalah alarm yang memekakkan telinga bagi pemerintah. Ini adalah sinyal bahwa negara sedang tidak baik-baik saja. Mengabaikannya hanya akan menumpuk amarah dan apatisme yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Jalan keluarnya bukanlah dengan menyalahkan kritik atau membungkam suara publik, melainkan dengan introspeksi dan tindakan nyata. Pemerintah harus segera berbenah secara fundamental dari membersihkan institusi dari praktik korupsi, mereformasi aparat agar humanis dan melayani, serta mendesak DPR untuk kembali mendengar nurani rakyat.
Bagi masyarakat, kemarahan adalah respons yang wajar. Namun, kemarahan ini harus menjadi energi untuk perubahan yang konstruktif. Di tengah potensi provokasi dan adu domba, menahan diri adalah sebuah kekuatan. Teruslah menjadi pengawas yang kritis, suarakan kebenaran dengan data, dan jangan pernah lelah mengawal jalannya pemerintahan.
Membangun kembali kepercayaan adalah pekerjaan maha berat, tetapi harus dimulai sekarang. Karena sebuah bangsa hanya bisa berlari kencang menuju kemajuan jika pemerintah dan rakyatnya berjalan beriringan dalam satu ikatan kepercayaan yang kokoh. Jika tidak, kita hanya akan terus berjalan di tempat, sibuk mengobati luka yang tak kunjung sembuh.